Rasa bersalah adalah kenangan yang indah sekaligus mengerikan. Coba kita kumpulkan seluruh rasa bersalah yang pernah kita kerjakan, maka hasilnya adalah bermacam-macam perasaan yang tidak seluruhnya siap untuk kita kenang. Di waktu kecil, sikap saya amat telengas kepada keponakan yang ke manapun saya pergi, ia hendak mengikuti.
Kepadanya selalu saya hadiahkan bermacam-macam teror agar niatnya itu terhenti. Semula cuma main gertak belaka. Tapi karena anak ini bandel sekali, gertakan itu harus ditingkatkan menjadi jitakan. Karena jitak juga tak mempan ia meningkat menjadi tempelengan. Saya lupa menghitung, sudah berapa banyak tempelengan saya mendarat di kepalanya, sebuah tindakan yang anak itu sendiri sudah melupakannya, tapi saya akan mengenangnya sampai mati.
Saya selalu teringat bagaimana akhirrnya anak itu hanya bisa pulang dengan perasan remuk redam. Ia tak cuma gagal mendapat teman bermain, tetapi malah mendapat kesakitan. Rasa sakit itu tidak cuma ada di kepalanya tetapi pasti juga ada di hatinya. Ia terbiasa pulang dengan tangan menutup kepala, dengan air mata berleleran dan suara tangis yang memenuhi sekujur desa. Saat itu, mendengar tangisnya adalah soal biasa. Menempelengnya adalah tugas rutin. Dan keberhasilan mencegahnya untuk ikut bermain adalah kepuasan batin.
Tapi begitu bertahun kemudian kami telah berpindah rumah, ketika jarak kami berjauhan dan saya tidak bisa setiap kali bertemu dengannya, suara tangis keponakan itu sering memenuhi seluruh kuping saya. Sering sekali bayangan anak itu muncul di malam tepat ketika saya hendak tidur. Terekam seluruhnya bagaimana tangan saya mendarat telak di pelipisnya. Bagaimana ia masih ngotot bertahan untuk bisa bermain dengan om-nya, tapi lagi-lagi tangan saya hars mendarat di kepalanya. Sebandel-bandelnya anak itu, ia akhirnya menyerah. Ia lagi-lagi harus pulang dengan tangan menangkup di kepala, dengan air mata berleleran dan tangis yang memenuhi sekujur desa. Saya akan terus mengenang kekejaman ini walau dengan perasaan remuk dan ngeri.
Sulit saya memaafkan kekejaman ini. Mengingat pemandangan itu adalah merasaakan saat-saat paling horor dalam hidup saya. Kini kami berdua telah berkeluarga. Tapi perasaan saya setiap melihatnya sama belaka: ia adalah anak kecil yang kepalanya penuh cap tempelengan saya. Hasilnya ajaib, cinta saya kepadanya tumbuh dengan cara yang sulit dilukisan. Kami berdua menjadi pasangan om-keponakan abadi. Yang selalu saling terpanggil, ketika batin membutuhkan. Yang selalu tergerak untuk saling memperhatikan walau kami berjauhan. Dua pihak yang saling menguatkan jika salah satu dari kami sedang dilanda kerapuhan.
Maka betapa rasa bersalah itu penting, tapi ia pasti bukan yang terpenting. Karena yang terpenting ialah, apakah rasa itu menghancurkan atau menumbuhkan. Saya bersyukur rasa bersalah terhadap keponakan itu mendorong saya untuk mengubahnya menjadi upaya saling mencintai dengan hasil yang sekarang saya nikmati.
Seseorang memang boleh jatuh pingsan demi melihat orang yang dicintainya mendapat musibah. Sebagai gambaran duka cita, pingsan ini penting tapi pasti bukan yang terpenting. Karena jika tidak pingsan, ia pasti sanggup meringankan musibah keluarganya. Tapi arena dia pingsan, tanggungan keluarganya malah jadi ganda.